Rabu, 13 Maret 2013

Ketua PTUN Kelukan Sikap Gubernur Jabar

BANDUNG, (PRLM).- Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung Lulik Tri Cahyaningrum mengeluhkan sikap Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ahmad Heryawan dan jajarannya yang cuek dalam menghadapi kasus gugatan soal UMK (Upah Minimum Kab./Kota). Lulik menilai gubernur sebagai tergugat, tidak kooperatif karena tidak pernah hadir setiap ada panggilan PTUN.

"Mestinya kalau gubernurnya tidak bisa kan bisa diwakilkan. Tidak mesti gubernur. Tapi ini tidak pernah sekalipun datang baik gubernur maupun perwakilannya. Padahal kan dekat. Tetangga," ucap Lulik kepada wartawan di PTUN Bandung, Jln. Diponegoro, Kota Bandung, Rabu (13/3/2013) siang.

Gubernur Jabar saat ini menjadi tergugat dalam dua perkara yaitu terkait keluarnya Keputusan Gubernur Jabar No. 561/Kep.56-Bangsos/2013 tentang Izin Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum bagi 257 perusahaan di kab./Kota di Jabar serta SK Gubernur pada November 2012 tentang Kenaikan UMK khususnya UMK Cimahi. Dalam dua kasus itu, PTUN menerima gugatan soal penangguhan pelaksanaan UMK tapi menolak gugatan UMK Cimahi.

Lulik menuturkan, selama proses gugatan, PTUN memerlukan data-data soal UMK serta klarifikasi dari tergugat. Pihak PTUN pun berkali-kali meminta gubernur atau yang mewakili, bisa hadir ke PTUN untuk menjelaskan hal tersebut.

"Nyatanya, gubernur atau yang mewakili, tidak pernah menanggapinya. Tidak pernah datang. Akhirnya kami mengambil bahan-bahan itu sendiri dengan mencairnya via internet. Sikap gubernur itu kami anggap tidak kooperatif dan menghambat kinerja. Padahal kami dipacu dengan waktu. Gak bisa lama-lama menangani kasus seperti ini karena menyangkut nasib banyak orang dan masih banyak kasus lainnya yang mesti ditangani," ujar Lulik.

Lulik juga membeberkan soal perkembangan dua gugatan UMK itu. Untuk gugatan Keputusan Gubernur Jabar No. 561/Kep.56-Bangsos/2013 tentang Izin Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum bagi 257 perusahaan di kab./Kota di Jabar, PTUN menerimanya. Sementara untuk UMK Cimahi, PTUN menolak. "Namun penggugat bisa melakukan perlawanan," ujarnya.

Alasan penolakan gugatan UMK Cimahi, kata Lulik, karena gugatan tersebut terlalu bersifat umum. "Harusnya bersifat individual. Terperinci. Maksudnya, mesti disebutkan FSPMI itu dari karyawan mana saja, perusahaannya apa, dan lainnya. Kalau terlalu umum ini tidak bisa karena aturannya seperti itu. Sebagai contoh saat Apindo Bekasi menggugat kenaikan UMK tahun lalu. Di tahap awal lolos tapi kalah di kasasi karena terlalu umum dalam berkasnya," katanya.

Di tempat yang sama, kuasa hukum FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia) Arif Kurniawan mengungkapkan kekecewaannya atas penolakan PTUN terhadap gugatan kliennya. Arif menilai alasan bahwa gugatan harus bersifat individual adalah mengada-ada.

"SK kenaikan UMK dari gubernur itu sendiri bersifat umum. Dalam SK itu kan tidak dirinci satu per satu nama perusahaan yang harus patuh tunduk pada SK. Begitu SK keluar, semua harus mengikutinya. Kalau ditulis semuanya, alangkah tebalnya SK tersebut," tuturnya.

Hal senada diungkapkan Ketua SPMI Cimahi Sugeng Prayitno. Dia menilai PTUN bersikap diskriminasi terhadap gugatan buruh. "Kenapa ketika Apindo Bekasi menggugat UMK tahun lalu dimenangkan, sementara buruh tidak. Toh Apindo juga umum karena tidak menyebut perusahaan-perusahaan yang ada di dalamnya," katanya.

Sementara itu, sekitar seribu buruh dari berbagai daerah, berunjuk rasa di depan Kantor PTUN Bandung. Mereka berasal dari Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), dan FSPMI. Bersama-sama, menuntut pencabutan SK Gubernur Jabar soal penangguhan pelaksanaan kenaikan UMK dan menolak SK Gubernur soal kenaikan UMK.

Buruh menggugat SK Gubernur pada November 2012 tentang Kenaikan UMK karena prosesnya tidak sesuai ketentuan dan masalah nilainya. Dalam proses penetapan, dewan pengupahan tidak sesuai prosedur. Harusnya survei KHL itu 4 kali tapi ini 1 kali. Kami juga tidak diundang dalam pembahasan," kata Sugeng.

Sugeng juga menuturkan, penetapan kenaikan UMK pun tidak mengindahkan faktor-faktor lainnya. "Tidak melihat laju pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan lainnya. Dalam perhitungan kami, mestinya UMK Cimahi minimal Rp 1,5 juta. Sementara yang disetujui gubernur hanya Rp 1.388.333,00," ujar Sugeng. (A-128/A-147)***

dikdo 13 Mar, 2013


-
Source: http://www.pikiran-rakyat.com/node/226731
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar