Senin, 18 Maret 2013

Jelang Pemilu 2014 Kekerasan Terhadap Kaum Minoritas Semakin Meningkat

JAKARTA, (PRLM).-Menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 kekerasan terhadap kaum minoritas semakin meningkat. Hal tersebut terjadi karena isu kebebasan beragama sering digunakan sebagai alat konsolidasi politik. Oleh sebab itu pemerintah harus mampu memberikan perlindungan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Koordinator Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) Haris Azhar mengatakan, selama Januari sampai pertengahan Februari 2013 saja sudah terjadi delapan kasus kekerasan terhadap minoritas. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah, seiring dengan suhu politik yang semakin memanas.

"Semoga saja tidak terjadi. Tetapi sampai sekarang memang belum ada indikator yang bisa digunakan untuk mendorong agar keadaan membaik," katanya dalam jumpa pers "Intoleransi, Diskriminasi, dan Kekerasan di Bekasi, Jawa Barat" di Jakarta, Senin (18/3).

Ia mengatakan, isu keberagaman sering ditunggangi kekuatan politik untuk mendulang simpati dan suara di Pemilu. Penggunaan isu agama atau kelompok minoritas tertentu dinilai efektif untuk mengumpulkan golongan mayoritas. Selain itu, menjelang Pemilu intimidasi politik juga rentan terjadi.

"Menggunakan isu agama untuk politik silakan saja, selama tidak merugikan kelompok lain. Kewajiban negara untuk melindungi. Kalau ada sekelompok orang membicarakan golongan lain, boleh-boleh saja. Tapi kalau sudah merugikan, itu jadi kewajiban pemerintah untuk melindunginya," katanya.

Perlindungan itulah yang, menurut dia, sering tidak sinkron antara aparat penegak hukum di lapangan dengan di pusat. Haris mencontohkan, di kepolisian pejabat di Mabes Polri sering menyuarakan tentang toleransi dan perlindungan, tetapi di tingkat yang lebih rendah seperti di Polsek dan Polres yang terjadi justru sebaliknya.

Seperti yang terjadi pada kasus HKBP Filadelfia, Bekasi. Pendeta HKBP Filadelfia Palti Panjaitan justru dijadikan tersangka oleh Kepolisian Bekasi atas laporan kelompon intoleransi.

"Biasanya dipersoalkan ijin (rumah ibadah), setelah itu kriminalisasi dengan dijadikan tersangka. Maka yang terjadi di Bekasi ini tidak mengagetkan. Ini kejahatan negara yang berkolaborasi dengan kelompok tertentu," kata Haris.

Ia mengatakan, pemerintah sebagai aktor politik harus turut bertanggung jawab. Utamanya di daerah-daerah yang kerap terjadi konflik dengan golongan minoritas. Ia menyebut Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang menjadi titik rawan terjadinya intoleransi.

Misalnya seperti yang pernah terjadi di Bekasi, Bandung, Sumedang, Kuningan. Ia menilai, hal itu menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk memperbaiki keadaan.

"Soal intoleransi ini menjadi catatan buruk bagi pemerintahan Heryawan (Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan). Dulu sampai ada rencana Operasi Sajadah dengan Pangdam Siliwangi untuk mengatasi Ahmadiyah. Kalau tidak mau dicatat sebagai pemimpin yang intolerir, Heryawan dan Deddy Mizwar harus memperbaiki lima tahun mendatang," katanya.

Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tagor Naispospos mengatakan, Bekasi sebagai daerah yang paling tidak toleran. Kelompok agama minoritas di Abekasi mendapat perlakuan diskriminasi dan sering menjadi target kekerasan atas nama agama. Komunitas Ahmadiyah dan jemaat Kristiani menjadi kelompok rentan yang sering menjadi korban.

Kota Bekasi memiliki banyak faktor yang meradikalisasi publik Bekasi untuk bersikap dan bertindak intoleran. Pertumbuhan pemukiman yang menuntut juga kehadiran tempat ibadah, kesenjangan ekonomi, kontestasi perebutan sumber daya ekonomi politik, adanya desain peraturan kehidupan beragama yang diskrimintif.

Di Bekasi, terdapat kelompok-kelompok yang dibentuk atas restu pemerintah yang pada mulanya untuk merespon dinamika sosial terkait kehidupan beragama justru pada akhirnya menjelma sebagai organisasi intoleran.

Atas desakan kelompok tersebut, pemerintah melakukan tindakan yang tidak melindungi golongan minoritas seperti melakukan penyegelan rumah ibadah serta melakui berbagai produk peraturan daerah yang diskriminatif.

"Sebagai daerah penyangga ibukota, intoleransi itu justru mengurangi kemajuan kita," ujarnya.

Peneliti SETARA Institute Abdul Khoir mengatakan, intoleransi yang berkembang di Bekasi bisa menyebar ke daerah lain di Jawa Barat jika dibiarkan. Oleh karenanya harus ada upaya untuk memperbaiki kondisi tersebut. (A-170/A-89)***

ibeng 18 Mar, 2013


-
Source: http://www.pikiran-rakyat.com/node/227435
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar