Jumat, 15 Maret 2013

Adaptasi Naker untuk Imbangi Perubahan Teknologi Industri Masih Lambat

BANDUNG, (PRLM).-Adaptasi tenaga kerja untuk mengimbangi perubahan teknologi industri masih lambat. Akibatnya, tenaga kerja yang ada belum sepenuhnya selaras dengan kebutuhan dunia industri saat ini.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat, Dedy Widjaya, mengatakan, penyelarasan antara dunia pendidikan dengan dunia industri perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pasalnya, selama ini upaya seperti itu tidak ada.

Dia mencontohkan perkembangan teknologi di industri otomotif yang seringkali tidak diimbangi oleh kecakapan dan adaptasi calon tenaga kerja yang akan memasuki industri tersebut.

"Seringkali penerapan kurikulum di lembaga pendidikannya ditetapkan selama lima tahun. Padahal, dalam rentang waktu itu, perkembangan teknologi di industri otomotif berkembang pesat," ujarnya saat dihubungi "PRLM", Jumat (15/3).

Dia mengatakan, selama ini pemerintah terkesan terlalu mengandalkan pihak swasta untuk menyesuaikan kecakapan tenaga kerja dalam beradaptasi dengan perkembangan teknologi tersebut.

Namun demikian, menurutnya, hal itu justru jadi kewenangan pemerintah. "Permesinan yang ada dalam pabrik itu adalah alat untuk produksi. Bukan untuk pelatihan, dan dari perspektif pengusaha, melatih tenaga kerja lagi berarti ada biaya yang bertambah. Itu bisa membebankan terutama bagi vendor perusahaan otomotif berskala menengah ke bawah," tuturnya.

Senada dengan Dedy, Kepala Seksi Pengembangan Pasar Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat, Zamhur, mengatakan masih ada ketidakseimbangan antara kompetensi tenaga kerja dengan perkembangan teknologi industri yang mensyaratkan permintaan tenaga kerja yang cakap.

Namun demikian, menurutnya, upaya pengembangan tenaga kerja tersebut perlu juga dibantu oleh pihak swasta. "Kami mengharapkan dunia industri perlu membantu mengembangkan kecakapan tenaga kerja dalam beradaptasi dengan perkembangan teknologi tersebut," tuturnya.

Dia menambahkan, jabatan atau posisi tertentu terkadang tidak ditunjang oleh latar belakang pendidikan sejumlah pekerja. Dalam hal ini, dia menilai, pasar tenaga kerja masih belum terinformasikan dengan baik, sehingga terjadi ketidakselarasan antara persediaan tenaga kerja dan kebutuhan industri.

Terkait dengan hal tersebut, dia mengatakan, pihaknya mengupayakan sejumlah langkah, seperti layanan antar kerja dan konseling. Program tersebut menjadi jembatan bagi perusahaan dan pencari kerja. Praktiknya, setiap seminggu sekali Disnakertrans Jabar akan memfasilitasi kegiatan seleksi bagi perusahaan yang mencari pekerja.

"Program ini baru dilaksanakan tahun ini. Targetnya akan ada 48 perusahaan yang difasilitasi oleh Disnakertrans dalam setahun. Sejauh ini, sudah ada 10 perusahaan yang kegiatan seleksi pekerjanya difasilitasi oleh kami," ujarnya.

Berdasarkan data BPS Jabar periode 2012, angkatan kerja mengalami peningkatan 4,10% menjadi 20.150.094 orang dari 19.356.624 orang pada 2011. Rinciannya, penduduk yang menganggur sebanyak 1.828.986 orang, sedangkan yang bekerja sebanyak 18.321.108 orang.

Penyumbang terbesar serapan tenaga kerja pada Agustus 2012 adalah sektor perdagangan (25,08%), diikuti sektor pertanian (21,65%), dan industri (21,09%).

Dibandingkan 2011, persentase penduduk yang bekerja di sektor perdagangan mengalami penurunan 1,01%. Sementara pada sektor pertanian dan industri, masing-masing meningkat 0,59%, dan 0,63%

Di antara angkatan kerja yang bekerja, paling banyak merupakan yang berpendidikan SD ke bawah (49,45%), sedangkan yang tamat universitas 5,51%, dan yang paling sedikit adalah lulusan diploma I/II/III (2,39%). Sebaliknya, tingkat pengangguran tertinggi adalah pada tingkat pendidikan SLTA ke atas, yakni 10,86%. (A-204/A-89)***

ibeng 15 Mar, 2013


-
Source: http://www.pikiran-rakyat.com/node/227061
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar