Minggu, 17 Maret 2013

Keluar RTRW Baru, Cianjur Lebih Ketat Keluarkan Izin Vila di Puncak

WILUJENG KHARISMA/"PRLM"

WILUJENG KHARISMA/"PRLM"

KONDISI perumahan dan vila yang dilihat diatas gunung Kasur, Pacet, Kab. Cianjur, Minggu (17/3). Keluarnya Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang baru dengan terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 17/2012 membuat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cianjur mulai memperketat pemberian izin-izin pembangunan di kawasan Cipanas dan sekitarnya.*

CIANJUR, (PRLM).- Keluarnya Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang baru dengan terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 17/2012 membuat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cianjur mulai memperketat pemberian izin-izin pembangunan di kawasan Cipanas dan sekitarnya.

Meskipun demikian pengajuan ijin mendirikan vila dan perumahan di Cipanas dinilai masih relatif tinggi, dalam tahun ini saja, ada seidkitnya 153 ajuan pembuatan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) yang hampir 80 persen ijin di Wilayah Cipanas.

"Terbitnya Perda RTRW itu untuk memperkuat Peraturan Presiden Nomor 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Perda RTRW itu untuk menekan semakin maraknya pembangunan-pembangunan yang mengakibatkan banyak terjadinya alih fungsi lahan," ucap Kepala Bagian Tata Usaha Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPPTPM) Kabupaten Cianjur, Subianto saat dikonfirmasi, Minggu (17/3).

Aturan pembangunan di kawasan Cianjur utara khususnya, kata Subianto, saat ini sangat ketat. Jadi tidak mungkin akan diberikan izin mendirikan bangunan (IMB) ketika pembangunannya berada di wilayah yang bukan peruntukkannya. Dalam Perpres Nomor 54/2008 sendiri sudah jelas, tidak diperbolehkan ada pembangunan di kawasan Jabodetabekpunjur yang masuk zona N1 dan N2.

"Zona N1 adalah wilayah yang terdiri dari kawasan hutan lindung, kawasan resapan air, sempadan sungai yang pemanfaatannya untuk mencegah erosi, amblesan tanah, dan banjir. Sedangkan zona N2 adalah kawasan cagar alam, taman nasional, dan suaka margasatwa yang pemafaatannya untuk perlindungan keaneragaman biota dan konservasi budaya," tuturnya.

Subianto menuturkan pihaknya lebih selektif mengeluarkan IMB, terutama di empat wilayah di Cianjur utara, yakni Kecamatan Cipanas, Pacet, Sukaresmi, dan Cugenang. Jika memang ajuan IMB itu tak sesuai peruntukkannya, maka akan ditolak. "Kami mengecek dulu jika ada ajuan. Jika memang pembangunannya sesuai di wilayah peruntukannya, maka kami setujui izinnya. Jika tidak sesuai, jelas-jelas akan kami tolak tegas. Jika ada yang melanggar dengan membangun di zona yang tidak diperbolehkan, sesuai perpres dan perda, sanksinya berupa 5 tahun penjara dan denda Rp5 miliar karena sudah masuk dalam tindakan pidana," ujarnya.

Selama Januari-Maret 2013, BPPTPM Kabupaten Cianjur menerima sedikitnya 153 ajuan pembuatan IMB. Beberapa di antaranya memang berada di kawasan Cianjur utara yang diperuntukan bagi rumah tinggal (termasuk di dalamnya vila).

"Ada beberapa di antaranya mengajukan pembuatan IMB yang diperuntukan buat pembangunan vila. Tapi kita kaji dulu. Jika memang berada di zona-zona yang dilarang, tentunya kami tolak. Tapi jika sesuai zona, kita akan keluarkan izinnya," ucapnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Tata Ruang dan. Permukiman (Distarkim) Kabupaten Cianjur, Yoni Raleda mengaku, terjadi kontradikitif dalam pengembangan kawasan Puncak. Artinya, di satu sisi, kawasan Puncak dan sekitarnya sebagai daerah hijau dan resapan air dilarang adanya pembangunan. Namun di sisi lainnya, Puncak dan sekitarnya dijadikan andalan pariwisata.

"Kepariwisataan selalu beriringan dengan pembangunan yang terus berkembang. Pemerintah sudah jelas melarang adanya pembangunan di kawasan Puncak dan sekitarnya. Namun tak bisa dinafikan, perkembangan wisata menggiring terjadinya perkembangan pembangunan, misalnya vila, hotel, maupun perumahan-perumahan. Ini sesuatu yang sangat kontradiktif," katanya.

Padahal, kata Yoni, Puncak sangat diandalkan bisa menjadi kawasan penyangga banjir bagi Jakarta karena merupakan daerah resapan air. Tentunya, harus ada pengendalian pembangunan.

"Pemerintah pusat harus tegas menyikapi kondisi ini. Jika memang kawasan Puncak dijadikan sebagai penyangga resapan air, harus segera dilakukan penertiban vila dan hotel pada wilayah yang masuk dalam zona N1 seperti disebutkan dalam Perpres Nomor 54/2008. Jika penertiban dibebankan kepada pemkab setempat, pasti akan banyak kendala," katanya.

Jika pemerintah pusat ingin Puncak menjadi kawasan wisata andalan, kata Yoni, maka juga harus tegas dalam menentukan zona-zonanya. Misalnya saja pemetaan jenis pembangunannya harus seperti apa. "Sampai saat ini semuanya masih terkesan bias," ucapnya. (A-186/A-108)***

dasline 18 Mar, 2013


-
Source: http://www.pikiran-rakyat.com/node/227343
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar